I.
PENDAHULUAN
Masalah kejahatan menurut Durkheim
adalah gejala yang normal pada masyarakat.[1]
Oleh sebab itu kejahatan bukan lagi merupakan pembahasan yang baru, khususnya
dalam kajian sosiologis dan kriminologis yang melihat kejahatan merupakan
bagian dari fenomena sosial. Kejahatan tentu saja tidak hanya sebatas pada
kejahatan jalanan seperti pencurian, pembunuhan, dan lain sebagainya. Kejahatan
juga tidak hanya dapat dilakukan oleh individu, melainkan juga dapat dilakukan secara
terorganisasi.
Kejahatan yang dilakukan secara
terorganisasi atau yang selanjutnya akan disebut kejahatan terorganisasi
memiliki banyak definisi, diantaranya adalah definisi yang dikemukakan oleh
Joseph Albini yang menyatakan kejahatan terorganisasi adalah setiap kejahatan yang melibatkan dua atau
lebih individu, khusus atau tidak khusus, yang menggunakan beberapa bentuk
struktur sosial, dengan beberapa macam kepemimpinan, menggunakan mode operasi
tertentu, di mana tujuan utama organisasinya dapat dilihat pada usaha dari
kelompok partikular tersebut. Definisi lain yang penulis rasa cukup baik dalam
menggambarkan kejahatan terorganisasi diantaranya adalah seperti yang
dikemukakan oleh Albanese yang menyatakan bahwa kejahatan terorganisasi adalah
perusahaan kriminal yang berlanjut yang secara rasional bekerja untuk
mendapatkan profit dari kegiatan terlarang yang sering diminati. Hal ini
dilanjutkan dan dipertahankan melalui penggunaan kekuatan, ancaman, kontrol
monopoli, dan/atau korupsi pejabat publik. Kejahatan terorganisasi digunakan
dalam pengertian generik untuk menyebut kejahatan kelompok dan mencakup banyak
sistem perilaku kriminal dan “usaha haram” yang mungkin lebih tepat dilabeli
sebagai perilaku kejahatan professional, okupasional, korporat, atau
konvensional. Definisi kriminologi yang lebih spesifik mengacu pada kelompok
yang (a) menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, (b) memberikan barang
haram yang diminta publik, dan (c) memastikan imunitas operator mereka melalui
korupsi dan enforcement.[2]
Tidak hanya itu, pada umumnya selain menggunakan usaha yang haram dalam hal
mendapatkan keuntungan, mereka juga memiliki “usaha-usaha yang tidak haram”
yang berfungsi untuk “mencuci” uang haram mereka.
Bisnis kejahatan terorganisasi pada
umumnya menyediakan barang dan jasa yang illegal.[3]
Menurut The Task Force On Organized Crime, inti dari aktivitas organisasi
kejahatan adalah memasok barang dan jasa illegal - perjudian, loansharking, narkotika, dan bentuk
lain- kepada masyarakat yang menjadi pelanggan.[4]
Dilihat dari bentuk-bentuk kejahatannya, kejahatan terorganisasi dapat muncul
dalam berbagai bentuk, diantaranya adalah kejahatan yang berkaitan dengan narkotika,
perdagangan gelap tanaman dan satwa liar yang dilindungi, perdagangan manusia,
pasar gelap, dan perdagangan senjata illegal.
Di Indonesia sendiri, kejahatan
narkotika merupakan salah satu permasalahan yang sangat memprihatinkan dan
memiliki angka kejadian yang cukup tinggi. Pada tahun 2011 angka penyalahgunaan
narkoba mencapai 2,2 persen atau 4,2 juta orang yang terdiri dari pengguna coba
pakai, teratur pakai, dan pecandu.[5]
Dari data yang dirilis BNN, diketahui bahwa jumlah pelaku kejahatan narkoba
yang ditangkap pada tahun 2010 berjumlah 26.678 orang, tahun 2011 berjumlah
29.796 orang, pada tahun 2012 berjumlah 28.727 orang, dan tahun 2013 berjumlah 28.784 orang (Jurnal
P4GN BNN Tahun 2014). Artinya, jumlah pelaku yang ditangkap tidak mencerminkan
terjadinya penurunan. Dengan fakta bahwa sebagian besar pelaku kejahatan
narkotika tetap melakukan kejahatan narkotika dari dalam penjara, maka pelaku
kejahatan narkotika terus mengalami peningkatan.
Dilihat dari definisi, penjelasan, serta
contoh dari kejahatan terorganisasi yang telah dipaparkan sebelumnya, dapat
kita lihat bahwa pada umumnya salah satu
tujuan utama dari adanya kejahatan terorganisir tersebut adalah untuk
mendapatkan keuntungan. Melalui bisnis-bisnis illegal dan kegiatan penunjang
lainnya, dapat kita katakan bahwa uang dan keuntungan merupakan tujuan utama
dari munculnya kejahatan organisasi tersebut. Teori-teori ekonomi terkait
dengan kejahatan juga didasarkan pada hipotesis bahwa penjahat
termotivasi oleh kepentingan diri yang rasional dan bahwa mereka memperkirakan
usaha dan keuntungan dari perilaku kriminal.[6]
Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa dalam menyelisik kejahatan terorganisasi,
kita juga perlu menyelediki lebih lanjut faktor ekonomi yang melatarbelakangi
eksistensi dari kejahatan terorganisir tersebut. Dalam tulisan kali ini,
penulis mencoba untuk melihat dari sudut pandang ekonomi bagaimana eksistensi
kejahatan narkotika sebagai kejahatan terorganisasi yang terjadi di Indonesia.
Sebelum masuk ke dalam pembahasan,
penulis memiliki hipotesis bahwasanya faktor ekonomi, terutama yang terkait
dengan pengambilan keuntungan sebesar-besarnya, merupakan salah satu faktor
utama yang melanggengkan eksistensi kejahatan narkotika sebagai kejahatan
terorganisasi di Indonesia. Hal ini dikarenakan Indonesia yang memiliki
populasi yang besar, penegakan hukum dan penjagaan yang lemah, angka pengguna
narkoba yang tinggi, serta kondisi masyarakat yang tidak sejahtera menyebabkan
Indonesia dilirik sebagai pasar yang sangat potensial dan menggiurkan bagi
sindikat narkoba internasional.
II.
PEMBAHASAN
Terdapat dua model ekonomi yang dapat
menjelaskan muncul dan berkembangnya kejahatan terorganisasi. Yang pertama
adalah market model, model ini
menjelaskan tentang permintaan pasar dan sifat pasar pidana; yang kedua adalah
tentang cara criminal enterprise
berperilaku di criminal market.[7]
Kedua model tersebut menekankan pada motif profit dan pertimbangan ekonomi yang
bertentangan dengan kondisi politik.
Model pertama berfokus pada dinamika
penawaran dan permintaan di pasar illegal lokal ataupun global. Sebuah pasar
illegal didefinisikan sebagai "tempat atau situasi di mana ada pertukaran
yang konstan antara barang dan jaga, yang produksi, pemasaran, dan konsumsi
dilarang secara hukum atau sangat dibatasi oleh mayoritas negara. Selain itu,
kegiatan pasar illegal secara sosial ataupun institusional mengutuk sebagai
ancaman terhadap martabat manusia dan kepentingan publik. Tipikal pasar dalam
hal ini diantaranya termasuk obat-obatan keras, penjualan senjata illegal,
perdagangan budak, modal yang berasal dair aktivitas kriminal, dan kesepakatan
yang melibatkan informasi rahasia dan intelijen.
Model ekonomi kedua dimulai dari gagasan
bahwa kelompok kejahatan terorganisir pada dasarnya merupakan perusahaan dengan
penekanan pada dimensi bisnis daripada kejahatan. Ada sebuah kontinum
perusahaan bisnis dari perusahaan sah yang terlibat hanya dalam bisnis halal,
melalui perusahaan legal yang kadang-kadang bertindak dengan cara-cara yang
illegal, menjadi perusahaan perusahaan terlarang yang beroperasi di pasar
illegal dan memberikan barang dan jasa yang dilarang atau sangat diatur. Criminal enterprise akan bertindak
dengan cara yang mirip dengan perusahaan yang legal dan akan mencari produk,
untuk melindungi dan memaksimalkan keuntungan.
Indonesia bukanlah negara yang terbebas
dari ancaman kejahatan terorganisasi. Hal ini dikarenakan dari segi ekonomi,
Indonesia merupakan negara yang dapat menjadi pasar potensial untuk
memperdagangkan barang-barang illegal. Selain itu, kesenjangan ekonomi yang ada
di masyarakat Indonesia masih kerap terjadi. Kesenjangan ekonomi adalah
terjadinya ketimpangan dalam distribusi antara kelompok masyarakat
berpenghasilan tinggi dan kelompok masyarakat berpenghasilan rendah.[8]
Sehingga dapat dikatakan bahwa kondisi ekonomi di Indonesia didominasi oleh
masalah-masalah kemiskinan dan kesenjangan ekonomi. Dengan situasi ekonomi yang
sulit, banyaknya pengangguran, dan tidak tercukupinya kebutuhan karena minimnya
penghasilan menyebabkan tidak sedikit masyarakat yang memutuskan untuk terlibat
dalam kegiatan illegal demi mendapatkan keuntungan yang besar, cepat, dan mudah
meskipun beresiko, salah satunya adalah dengan terlibat dalam peredaran
narkotika.
Salah satu contoh kasus narkotika yang
berhasil ditangani oleh BNN diantaranya adalah kasus yang melibatkan Edy dan
kakaknya yang terjadi pada tahun 2014 silam.[9]
Edy dan kakaknya ditangkap petugas karena terlibat kasus peredaran narkoba dan
pencucian uang. Keduanya menjalankan bisnis properti dari hasil keuntungan
narkoba. Edy memiliki beberapa rumah yang beratasnamakan adiknya, Murdani.
Setelah diselidiki, ternyata semua tempat tinggal tersebut ternyata merupakan
hasil pencucian uang dari keuntungan yang didapat dari penjualan narkotika. Tidak hanya itu, setelah menyita enam
rekening tabungan milik Edy ditemukan bahwa keenam tabungan tersebut beratasnamanakan
orang yang berbeda-beda. Dari keenam tabungan tersebut, total uang yang masuk
ke dalam rekeningnya sebesar 179,3 Miliar. Menurut Kepala BNN Komisaris
Jenderal Polisi Anang Iskandar, berdasarkan pengakuan Edy ia telah menjalani
bisnis narkoba sejak tahun 2007. Narkoba jenis sabu itu ia dapatkan dari bandar
besar asal Malaysia yang bernama Mun dan A. Dari hasil penjualan narkoba
tersebut, Edy menyetorkan kepada bandar besar di Malaysia, sementara
keuntungannya dibagi dua dengan Murdani dan diputar untuk bisnis properti, dan
bisnis properti tersebut diduga bertujuan untuk menghilangkan jejak pidana
aslinya, yaitu narkoba.
Dengan total penduduk sekitar 270 juta
jiwa, Indonesia adalah pasar besar bagi pengedar narkoba. Perdagangan narkotika
juga dapat dikatakan merupakan salah satu bisnis yang mudah masuk di Indonesia
dan hanya membutuhkan sumber dan dana. Ada berbagai kelompok yang bekerja untuk
memperdagangkan narkoba, terutama geng jalanan di banyak daerah perkotaan.
Pedagang ini memiliki kontak langsung dengan para addict-dealer yang merupakan tulang punggung dari perdagangan
narkoba.
Secara ekonomi, bisnis gelap narkoba
sangat menggiurkan. Berdasarkan hasil wawancara dengan seorang bandar narkoba
dari Sulawesi Selatan yang dilansir selasar.com pada tahun 2014, alasan
keuntungan yang besar dan cepat adalah alasan utama.[10]
Dalam waktu satu minggu, bandar tersebut dapat menjual sabu minimal total 1 kg.
Keuntungan bersih per kg adalah 400 juta. Dengan penjualan minimum per 50gr
seharga 50-52 juta. Sedangkan harga per 1 kg sabu di Tawau, Malaysia adalah
500juta. Menurut pengakuannya, menyelundupkan sabu dari Tawau ke Sulawesi
Selatan cukup mudah karena adanya kapal penumpang secara langsung dari Nunukan
tujuan Pare-Pare. Selain itu, karena terdapat oknum aparat, baik di Indonesia
ataupun di Malaysia, yang dapat "bekerja sama" dan dapat disuap jika
sewaktu-waktu sabu miliknya terkena razia.
Hingga saat ini, bisa dikatakan bahwa
Indonesia sekarang telah menjadi salah satu jalur utama dalam perdagangan
obat-obat terlarang. Banyak obat-obat terlarang diperdagangkan dan
diselundupkan oleh sindikat internasional yang terorganisasi, terutama karena
ada permintaan yang cukup tinggi dan Indonesia punya populasi muda yang besar
dan menjadi pasar narkoba yang besar juga.[11]
Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Kepala Bagian Humas BNN Komisaris
Besar Sumirat Dwiyanto yang menyatakan bahwa Indonesia dilirik oleh sindikat
internasional karena Indonesia dianggap sebagai great market and good price.[12]
Ia menjelaskan, hal tersebut terungkap saat BNN melakukan pemeriksaan terhadap
seorang tersangka sindikat narkoba yang ditangkap di Thailand. Tersangka itu
menyampaikan, Indonesia adalah pasar yang besar dan memiliki harga yang tinggi
untuk perdagangan narkotika.[13]
Hal ini sejalan dengan pemberitaan yang dilansir selasar.com yang menyatakan
bahwa harga sabu di Indonesia memang fantastis yaitu dua kali lipat dari harga
di Malaysia dan Tiongkok. Dengan kondisi geografis Indonesia yang sangat
terbuka, maka Indonesia kini secara perlahan tapi pasti juga mengalami
pergeseran yang semula tempat transit, kini menjadi negara tujuan, bahkan bisa
bertambah peran yaitu menjadi "gudang" atas narkoba dengan tujuan
Australia. Hal tersebut karena harga sabu di Australia dua kali lipat lebih mahal
dari Indonesia. Di antara pemain utama di Australia saat ini berasal dari
Vietnam, dan dengan alasan disparitas harga yang besar dan letak posisi
geografis Indonesia sebagai negara besar terdekat dengan Australia, maka
jaringan narkotika Indonesia mempunyai peluang lebih dalam penyelundupan
narkotika ke Australia.[14]
Berdasarkan kasus dan pemaparan di atas
dapat kita lihat bahwa kondisi perekonomian Indonesia yang tidak stabil, besarnya
populasi di Indonesia, pendapatan yang minim, serta kondisi yang memicu
keutamaan mencapai kesejahteraan ekonomi merupakan salah satu faktor utama
banyak orang yang terlibat dalam kasus peredaran narkotika. Keuntungan
mengedarkan narkotika sangat menggiurkan menyebabkan banyak orang yang
mengabaikan resiko-resiko yang mungkin ia hadapi. Jika dilihat dari model
ekonomi dalam melihat kejahatan terorganisasi, maka dapat dikatakan bahwa kasus
peredaran narkotika yang dilakukan oleh sindikat narkoba internasional
merupakan salah satu contoh dari market model, dimana di Indonesia terdapat
permintaan pasar yang tinggi akan narkoba.
Uang adalah alasan keberadaan sindikat
kejahatan besar dan uang juga merupakan sumber kekuatan mereka.[15]
Banyak negara yang telah memperketat hukumnya untuk menjebak pihak-pihak yang
melakukan pencucian uang. Namun, beberapa hukum tersebut tetap tidak bekerja.
Para pelaku pencucian uang juga sulit dituntut di sebagian besar negara tanpa bukti
bahwa ia mengatahui bahwa ia telah melakukan pencucian terhadap uang hasil
transaksi jual beli narkotika, serta bukti bahwa uang tersebut berasal dari
transaksi jual beli narkoba. Hal ini hampir mustahil untuk menghasilkan bukti
yang akan dibawa ke pengadilan. Meskipun pengedar narkoba dan obat-obatan yang
mereka jual dapat disita dan ditahan, para pelaku pencucian uang hampir, tanpa
pengecualian, sulit untuk ditahan.[16]
Selain itu pada umumnya bank juga hanya bertanggung jawab untuk mengetahui
siapa customer mereka, bukan siapa
yang berada di balik mereka.
Masih dari segi ekonomi, selain menjadi
salah satu penyebab utama dari eksistensi kejahatan narkotika sebagai kejahatan
terorganisasi, kejahatan narkotika juga memiliki kontribusi yang besar terhadap
ketidakstabilan ekonomi dan kerugian negara, sebab negara juga harus memberikan
anggaran yang cukup besar khususnya untuk sector kesehatan dan keamanan.
III.
PENUTUP
Berdasarkan pembahasan yang telah
dipaparkan pada bagian sebelumnya dapat kita lihat bahwa di Indonesia,
peredasaran narkoba merupakan salah satu bentuk kejahatan terorganisasi yang
sangat memprihatinkan. Hal ini dapat kita lihat dari tingginya angka penggunaan
dan pengedaran narkotika yang ada di Indonesia. Kondisi ekonomi Indonesia yang
cenderung tidak stabil memberikan kontribusi yang besar terhadap tingginya
angka kejahatan narkotika.
Selain itu, jika dilihat dari pendekatan
ekonomi dalam melihat kejahatan terorganisasi, eksistensi kejahatan
terorganisasi dalam sektor narkotika dapat dikategorikan dalam market model dimana terdapat permintaan
yang tinggi terhadap narkotba, sehingga Indonesia dilirik sebagai pasar yang
sangat potensial untuk perdagangan narkotika, baik oleh sindikat narkotika yang
ada di dalam negeri maupun sindikat narkoba internasional.
Pemaparan yang penulis sampaikan pada
bagian sebelumnya membuktikan hipotesis yang telah penulis ajukan di bagian
awal, bahwasanya faktor ekonomi
merupakan salah satu faktor utama yang melanggengkan eksistensi kejahatan
narkotika sebagai kejahatan terorganisasi di Indonesia. Hal ini dikarenakan
Indonesia yang memiliki populasi yang besar, penegakan hukum dan penjagaan yang
lemah khususnya di daerah-daerah perbatasan, kondisi masyarakat yang tidak
sejahtera, pendapatan yang dinilai tidak cukup, serta angka pengguna narkoba
yang tinggi yang berujung pada tingginya permintaan terhadap narkotika
Penulis juga memproyeksikan bahwa
apabila kondisi ekonomi Indonesia masih kerap tidak stabil ditambah dengan
lemahnya penegakan hukum terkait dengan kejahatan narkotika serta pencucian
uang dari hasil perdagangan narkotika, maka sindikat narkotika dalam maupun
luar negeri akan tetap eksis atau bahkan akan semakin berkembang. Upaya-upaya
yang sekiranya dapat dilakukan oleh pemerintah untuk meminimalisir atau
menghapuskan sindikat perdagangan narkoba di Indonesia diantaranya adalah
dengan menekan jumlah pengguna narkoba sehingga permintaan akan narkoba akan menurun
yang dapat dilakukan dengan berbagai upaya seperti sosialisasi terhadap
masyarakat, selain itu pemerintah juga seharusnya melakukan penegakan hukum
khususnya di daerah-daerah yang rawan seperti daerah perbatasan, hal ini
bertujuan untuk membatasi dan meminimalisir ruang gerak dari sindikat narkoba
tersebut. Selain itu hal penting lain yang dapat dilakukan oleh pemerinta
adalah dengan menjerat para pelaku kejahatan narkoba dengan UU Tindak Pencucian
Uang.
[1]
Muhammad Mustofa. 2010. Kriminologi –
Kajian Sosiologis Terhadap Kriminalitas, Perilaku Menyimpang dan Pelanggaran
Hukum. Bekasi: Sari Ilmu Pratama Hlm. 95
[2]
Frank E. Hagan. 2013. Pengantar
Kriminologi: Teori, Metode, dan Perilaku Kriminal. Jakarta: Kencana Hlm.558
[3]
Howard Abadinsky. 1990. Organized Crime 3rd
Ed. Chicago: Nelson-Hall Inc. Hlm. 267
[4]
Ibid.
[5]
http://nasional.news.viva.co.id/news/read/516363-bnn--pengguna-narkoba-di-indonesia-capai-4-2-juta-orang
diakses pada Sabtu 6 Juni 2015 pk. 13.00
[6]Cathy
Buchanan; Peter R. Hartly. 1992. The Economic Theory of Crime and Its
Implication for Crime Control. Australia: The Centre for Independent
Student Hlm. 3
[7]
Phil Williams; Roy Godson. 2002. Crime,
Law & Social Change – Anticipating
Organized and Transnational Crime. Netherland: Kluwer Academic Publishers Hlm.322
[8]
http://www.academia.edu/6294390/PEREKONOMIAN_INDONESIA_-_KETIMPANGAN_PENDAPATAN
diakses pada Sabtu 6 Juni 2015 pk. 13.30
[9]
http://nasional.news.viva.co.id/news/read/500547-cuci-uang-narkoba-di-bisnis-properti--adik-kakak-dicokok-bnn
diakses pada Sabtu 6 Juni 2015 pk. 16.00
[10]
https://www.selasar.com/politik/indonesia-darurat-narkoba
diakses pada Sabtu 6 Juni 2015 pk. 00.04
[11]
http://www.dw.de/pbb-indonesia-salah-satu-jalur-utama-penyelundupan-narkoba/a-18252054
diakses pada Sabtu 6 Juni 2015 pk. 19.35
[12]http://nasional.kompas.com/read/2012/06/07/15223854/Indonesia.Great.Market.dan.Good.Price.Perdagangan.Narkoba
diakses pada Sabtu 6 Juni 2015 pk. 21.00
[13]
Ibid.
[14]
https://www.selasar.com/politik/indonesia-darurat-narkoba
diakses pada Sabtu 6 Juni 2015 pk. 00.04
[15]
Claire Sterling. 1994. Crime Without
Frontiers.London: Little, Brown and Company Hlm. 197
[16]
Ibid. Hlm.207