Thursday, December 24, 2015 0 comments

Hanya Dia - Sebuah Cerpen

Namaku Putra. Aku seorang pemuda berusia 28 tahun yang sejak kecil dibesarkan di ibu kota. Tinggiku 178, rambutku berwarna kecoklatan dan memiliki kulit sawo matang yang, kata teman-temanku, eksotis. Memiliki alis yang tebal dan rahang yang tegas, banyak orang mengatakan aku orang yang penuh karisma, dan tampan tentunya. Dari segi pekerjaan, aku dapat dikatakan cukup sukses sebagai seorang eksekutif muda. Di usiaku yang sekarang aku sudah dapat membeli apartemen dan mobilku sendiri. Meskipun demikian, bekerja di perusahaan multinasional membuat waktuku sangat tersita, bahkan seringkali weekend-ku dipakai untuk mengurusi masalah kantor. Tapi bagiku itu bukan masalah. Aku menikmati pekerjaanku.
Teman-temanku mengatakan bahwa hidupku sempurna. Wajahku tampan dan aku kaya. Biarpun begitu, mereka tetap heran mengapa sampai saat ini aku belum menikah. Mereka sama saja dengan keluargaku, yang selalu bertanya kapan mereka punya menantu, seperti apa tipe perempuan idaman yang kucari, dan mereka juga kerap mendesakku untuk tidak hanya memikirkan karir dan segera mencari pasangan hidup. Jujur saja, aku bosan dengan pertanyaan dan desakan-desakan yang mereka lontarkan padaku. Bukan aku tidak peduli. Aku sangat peduli, tentu saja. Tapi masalahnya, hatiku tidak bisa pergi dari seorang yang selalu menyita perhatianku pada saat di bangku kuliah, namanya Eka. Telah lama kusadari bahwa aku telah jatuh cinta padanya, tapi bodohnya aku yang tidak pernah menyatakan perasaanku padanya. Dan sampai sekarang aku masih sangat mencintainya. Hanya dia.
***
Namaku Eka. Aku adalah seorang penulis dan sekarang aku sedang melanjutkan studi S2 ku di Sastra Indonesia. Rambutku pendek dan tinggiku juga hanya 160an. Mataku besar dan kata orang aku punya senyum yang juara. Keseharianku disibukkan dengan tugas dan perkuliahan. Terkadang disaat aku tidak memiliki kesibukan di kampus, aku menghabiskan waktu di sebuah café atau hanya duduk-duduk di beranda rumah sembari mencari inspirasi untuk tulisanku. Yah, sebenarnya aku tidak perlu pergi kemana-mana untuk mencari inspirasi. Aku punya inspirasiku sendiri. Inspirasiku berwujud seorang pria berkulit secerah purnama yang selalu berusaha menemaniku di sela-sela kesibukannya. Namanya Faisal.
Aku mengenal Faisal di bangku kuliah. Faisal adalah orang yang sangat baik dan tidak pernah berlaku kasar kepada siapapun. Kami dipertemukan di sebuah kepanitiaan di kampus. Awalnya hubungan kami hanya sebatas hubungan professional, namun ternyata seusai kepanitiaan yang kami jalani bersama itu, hubungan kami justru semakin dekat hingga ia menyatakan cinta padaku. Aku sangat tidak menyangka. Awalnya aku kira aku akan patah hati lagi. Aku kira perasaanku akan bertepuk sebelah tangan lagi, seperti yang selalu kualami sejak masih duduk di bangku sekolah. Tapi ternyata tanpa kuduga, ia memiliki perasaan yang sama kepadaku. Baru kali ini aku merasa dicintai oleh orang yang kucintai. Aku kira Tuhan jahat padaku, tapi ternyata Tuhan akhirnya mengirim sosok Faisal untuk menemaniku. Tuhan tidak jahat.
Meskipun demikian, tentu saja banyak orang yang mencemooh hubungan kami. Aku kira ini adalah waktuku untuk bahagia, tapi mengapa orang-orang tetap tidak bisa sedikit saja berbahagia untukku? Awalnya hal tersebut menggangguku. Awalnya ada segelintir perasaan jengah yang selalu mengusikku. Awalnya sering kurasakan dingin di ulu hati akibat tatapan-tatapan ingin tahu dan cibiran-cibiran penuh benci dan kebingungan yang seringkali sayup-sayup kudengar. Tapi itu dulu. Sekarang aku sudah terbiasa. Meskipun tatapan dan cibiran itu masih sering kudapati, namun aku selalu berusaha untuk mengabaikannya. Aku punya Faisal disampingku. Aku sangat mencintainya. Hanya dia.
***
Namaku Faisal. Aku kekasih Eka. Aku seorang pemuda berusia 28 tahun dan sekarang aku sedang menjalankan sebuah bisnis properti yang cukup sukses. Kulitku dapat dikatakan putih untuk ukuran laki-laki dan aku memiliki rambut legam yang ku potong pendek. Aku tidak percaya Tuhan dan aku tidak menikah. Aku hanya memuja Eka. Kekasihku. Belahan jiwaku.
Memiliki Eka dalam hidupku adalah anugerah. Meskipun untuk menjalin hubungan denganku adalah keputusan yang sulit, dia tetap memilih untuk berada disampingku. Ia tak peduli dengan tatapan dan perkataan orang-orang yang selalu mencemooh kami. Eka adalah segalanya. Aku tidak punya keluarga ataupun teman. Hanya Eka lah yang selalu memahami dan dapat ku andalkan. Meskipun hanya ada dirinya, seorang Eka cukup untuk mengisi hati dan hari-hariku. Eka adalah sosok yang sangat perhatian dan pengertian. Walaupun akhir-akhir ini aku selalu sibuk dan kami hanya mengobrol sambil lalu, dia tidak pernah mengeluh.  Aku sangat menyayanginya. Hanya dia.
***
Kami bertemu lagi.
Ya, setelah sekian lama tidak melihat senyumnya, akhirnya aku kembali bertemu dengannya. Eka. Seorang yang hanya dapat ku bayangkan dalam mimpi dan fantasiku sekarang berada hanya dua puluh langkah di depanku. Aku memang sengaja menghadiri acara reuni kampus karena aku berharap dapat bertemu dengan Eka. Aku sudah bertekad untuk menyatakan perasaanku pada Eka. Aku sudah tahu dari lama kalau Eka pernah memiliki perasaan yang sama sepertiku. Aku harus memilikinya.
Saat aku hendak mendekatinya, tiba-tiba ada sosok lelaki yang menghampiri Eka. Setelah berbincang sebentar, ia mencium kening Eka lalu beranjak pergi. Cih, Faisal rupanya. Si brengsek itu. Dia yang telah merebut Eka dariku. Aku harus membalasnya. Aku harus merebut kembali apa yang seharusnya jadi milikku. Aku harus merebut Eka.
***
“Hai Eka, masih ingat aku?,” ujar Putra
“Tentu saja. Kau Putra, kan? Sudah lama tidak melihatmu. Apa kabar?”
“Baik tentunya. Sudah mau pulang ya?”
“Ya sepertinya begitu. Acaranya membosankan.”
“Kau terburu-buru?”
“Tidak. sepertinya tidak.”
“Bagaimana kalau kau menemaniku makan? Ayolah, kita sudah lama tidak bertemu. Aku yang traktir.”
“Sebenarnya aku ada janji dengan seseorang. Faisal, kau tau kan? Kami berjanji akan bertemu di apartemenku malam ini. Tapi oke deh, aku mau. Pastikan kita pulang tidak terlalu larut ya.”
“Tenang saja.”
***
Aku kecewa.
Tidak.
Aku hancur lebur.
Bagaimana perasaanmu melihat orang yang selama ini kau anggap belahan jiwamu, orang yang selalu kau perjuangkan, orang yang sangat kau sayangi berada di atas ranjang dengan laki-laki lain tanpa sehelai benang pun menutupi tubuhnya?
Mataku perih. Tanganku terkepal sampai aku bisa merasakan kuku-kukuku menggores telapak tanganku. Ini pasti ulah lelaki itu. Tak akan kubiarkan dia merebut apa yang telah menjadi milikku.
***
Gamang.
Itulah hal yang kurasakan pertama kali saat aku membuka mata. Kemarin rasanya berjalan begitu cepat. Yang terakhir ku ingat Putra menambahkan wine ke gelasku dan kami melanjutkan obrolan kami. Aku tidak ingat mengapa aku bisa sampai ke tempat tidurku. Aku tidak ingat mengapa aku tidak mengenakan pakaian. Dan aku tidak ingat mengapa ada Putra di dalam kamarku. Dia tampak sangat lelah, sama sepertiku.
Aku akhirnya sadar ada yang memperhatikan kami dari pintu kamarku. Faisal. Lamat-lamat aku paham apa yang telah terjadi. Pasti aku lupa mengunci pintu masuk apartemenku tadi. Sebelum aku sempat berbicara, Faisal masuk dan langsung melayangkan pukulannya ke wajah Putra. Putra yang masih belum sadar sepenuhnya langsung terjatuh dari tempat tidur. Aku ingin berteriak, tapi entah mengapa suaraku tercekat. Aku hanya bisa menonton kejadian itu dalam diam. Mataku berkunang-kunang namun dengan sekuat tenaga aku mencoba untuk menjaga diriku agar tetap sadar.
Kejadian itu belum berhenti. Tanpa ada perlawanan berarti dari Putra, Faisal terus melayangkan pukulannya ke Putra sampai babak belur. Wajah putra sudah tak karuan. Darah merembes ke selimut yang ikut terjatuh dari tempat tidur. Tidak berhenti sampai disitu, Faisal menghantamkan lampu tidur yang ada di atas meja tepat di kepala Putra sampai lampu itu pecah bekeping-keping. Masih tidak puas, Faisal mencekik leher Putra sekuat tenaga. Putra meronta sekuat tenaga, namun apa daya Faisal yang dipenuhi amarah terus mencekik Putra sampai akhirnya Putra tidak lagi meronta.
Dengan terhuyung-huyung aku berusaha keluar dari kamarku. Itu bukan Faisal yang aku kenal. Faisal tidak mungkin tega melakukan itu. Itu bukan Faisalku. Dia bukan Faisal. Dia pembunuh.
***
            Aku menyusulnya keluar kamar. Kekasihku. Belahan jiwaku.
Aku sangat ingin memeluknya saat itu. Meskipun telah mengecewakanku, aku tetap mencintai dan menyayangi Eka. Namun, bukan kata maaf yang aku dapatkan, ia justru mendorongku sekuat tenaga saat aku berusaha untuk merengkuhnya. Dia meneriakiku. Dia mengatakan bahwa aku adalah binatang. Ia mengatakan bahwa aku pembunuh. Dan ia juga mengatakan bahwa ia tidak ingin melihatku lagi seumur hidupnya. Selama aku mengenalnya, tidak pernah sekalipun ia meneriakiku seperti itu. Amarahku kembali tersulut.
            Entah apa yang merasuki pikiranku, aku segera mengambil pisau yang ada di atas meja tidak jauh dari tempat aku berdiri. Kalap, aku menusuk Eka tepat di ulu hatinya. Tidak puas, aku juga melakukan hal yang sama dengannya seperti yang telah aku lakukan pada si brengsek Putra. Aku mencekiknya sekuat tenaga dan menusuknya lagi berulangkali dengan pisau yang sama hingga Eka tidak lagi sadarkan diri.
            Mungkin Eka benar, aku memang binatang.
***
Aku tidak tahu harus bersyukur atau tidak.
Ternyata keributan yang terjadi di apartemen Eka didengar oleh tetangganya. Tetangga tersebut bergegas menuju kamarnya dan menemukan Eka yang telah bersimbah darah serta diriku yang babak belur dan tidak sadarkan diri. Tetangganya itu langsung menelepon polisi dan segera melarikanku serta Eka ke rumah sakit. Aku berhasil diselamatkan, namun Eka tidak.
Disinilah aku sekarang, di pemakaman Eka. Tidak banyak yang menghadiri pemakaman Eka. Aku paham. Eka tidak memiliki siapa-siapa. Ia dibuang oleh keluarganya dan ia dianggap sampah oleh teman-temannya. Hanya segelintir orang yang menghadiri pemakaman Eka. Faisal? Aku tidak tahu dimana dirinya berada. Aku tidak peduli.
Aku sangat ingin memutar waktu agar kejadian ini tidak terjadi. Aku sangat menyesal dan merasa bersalah atas kematian Eka. Namun semua itu sudah tidak ada artinya. Aku hanya bisa termangu melihat batu nisan yang bertorehkan namanya.
MUHAMMAD EKA BRAMANTYO bin ROHMANSYAH
Lelaki itu. Pujaan hatiku. Dambaan jiwaku. Sampai kapanpun aku akan terus mencintainya. Hanya dia.
0 comments

Sakit Gigi

Skenarionya,
Kau sudah kehilangan seluruh gigi susumu
Dan bisa dibilang kau sudah mulai tumbuh dewasa secara biologis

Suatu hari,
Kau merasakan sakit di dalam mulutmu
Orang bilang itu sakit gigi
Sakitnya tidak permanen
Tapi sakit.

Sakitnya itu,
Hanya muncul disaat-saat tertentu
Seperti pada saat kau terlalu banyak mengunyah permen
Atau menyesap cola dingin
Padahal aku tau
Itu favoritmu, kan?

Dan pada suatu ketika,
Seseorang bertanya
Mengapa tak kau cabut saja gigimu itu?
Kau bisa menikmati semua yang kau suka tanpa perlu merasa sakit
Sakit itu mengganggumu
Sakit itu menghambat kebahagiaanmu

Cabut gigi,
Kupikir kau cukup cerdas untuk tidak mencabut sendiri
Itu berbahaya
Kau bisa pergi ke dokter
Kau tau, mereka tidak akan membuatmu menangis

Jelas kau tau,
Kau akan bisa menikmati semua permen kesukaanmu
Dan cola dingin, tentu saja
Tapi kau juga tau kan
Kalau kau akan jadi ompong?

Kalau kau ompong,
Aku jamin lidahmu akan terus meraba
Meraba pada bagian itu
Meraba pada yang hilang

Sekali, memang ada yang berbeda
Dua kali, aneh juga rasanya
Berkali-kali, kau mulai resah



Kenapa, sayang?



Ada yang hilang.



Oh, aku tau. Itu yang selama ini kau bayangkan kan?
Terusik karena ketiadaan
Terganggu oleh kehilangan

Tapi aku tau kau sudah cukup dewasa
Untuk memilih,
Mempertahankan sumber rasa sakit atau











Berserah pada kehampaan temporer
 
;